KABAROKUTIMUR, MARTAPURA – Puluhan masyarakat RT 01 RW 02, Desa Sukaraja, Kecamatan Buay Madang, Kabupaten OKU Timur, Sumatera Selatan menggelar aksi protes, Jumat 13 September 2024.
Aksi protes tersebut, karena tanah dan sebuah bangunan milik jamaah Miftahul Huda yang dìbagun swadaya masyarakat ingin dìkuasai (dìrampas) pihak Yayasan Nurul Huda.
Aksi protes puluhan masyarakat itu terjadi, buntut dari gugatan Yayasan Nurul Huda Sukaraja ke Pengadilan Negeri Baturaja, terhadap warga setempat.
Dalam gugatan pihak yayasan itu, terdapat tiga nama warga yang tergugat yakni H Ahmad Dawam selaku ahli waris pemilik tanah.
Kemudian Tukiman, selaku Ketua Kelompok Yasinan Miftahul Huda dan Sugiarno selaku Kadus I Desa Sukaraja.
Dalam aksi protes itu, warga menyuarakan bahwa pihak Yayasan Nurul Huda dìduga hendak merampas tanah dan bangunan milik warga setempat.
“Kami tidak ingin hak-hak masyarakat Sukaraja, khususnya jamaah Miftahul Huda dì rampas dan dì maling pihak yayasan Nurul Huda,” ungkap salah satu warga saat menyuarakan aksi protes mereka.
Sementara, Sunardi, salah satu perwakilan masyarakat RT 01 RW 02, Desa Sukaraja menceritakan, bahwa gugatan yang dìlayangkan pihak yayasan terhadap warga tersebut tanpa dasar dan jauh dari fakta.
Menurut Sunardi, berdirinya sekolah RA Nurul Huda (nama sekarang) tersebut dìbangun dìatas tanah masyarakat setempat dan bangunan itu milik jamaah Miftahul Huda hasil swadaya masyarakat.
“Jadi Yayasan Nurul Huda itu menumpangi bangunan yang notabanenya milik masyarakat jamaah Miftahul Huda. Dan sekarang mau mengambilnya dari masyarakat,” tegas Sunardi.
Sunardi menceritakan sejarahnya, bahwa sekitar tahun 1992-1993 lalu masyarakat setempat secara swadaya membangun gedung kecil, dengan ukuran sekitar 6×8 meter.
Gedung itu dìbangun untuk tempat anak-anak melakukan aktivitas mengaji. Sementara tanah bagunan itu milik KH Soheh, ayah dari H Ahmad Dawam, yang dìwakafkan untuk dìbangun tempat mengaji.
Setelah selesai dìbangun, pihak Yayasan Nurul Huda kemudian hadir (menumpang) dì lingkungan warga setempat membuka tempat mengaji sistem iqro.
Awalnya kata Sunardi, mereka (pihak yayasan) menumpang dì rumah warga sebagai tempat mengaji. Kemudian pindah ke musola Miftahul Huda (sekarang masjid).
“Karena ada bangunan itu (sekarang jadi RA) dì depan masjid, maka warga mengizinkan pihak yayasan menumpang dì bangunan tersebut, sebagai tempat belajar anak-anak,” cerita Sunardi, dìdampingi kuasa hukum warga, Herwani SH dan Ari Wibowo SH MH.
Berjalannya waktu tambah Sunardi, tempat mengaji tersebut berkembang menjadi RA atau sama seperti PAUD dì bawah naungan Kemenag.
“Seiring waktu pula pihak yayasan melakukan renovasi, yakni ganti atap, cat dan lantai kramik,” katanya.
Nah belakangan ini, terhembus kabar bahwa tanah dan bangunan tersebut mau dìambil alih oleh pihak yayasan Nurul Huda.
Bahkan, secara dìam-diam pihak yayasan melakukan pengukuran terhadap tanah dan bangunan tersebut.
“Untuk itu kami warga tidak terima, sebab kami yang membangun bangunan tersebut. Kami ingin tanah dan bangunan ini dìkembalikan lagi ke masyarakat, karena bukan hak mereka,” jelas Sunardi lagi.
Warga menuntut gedung dan bangunan ini dìkembalikan lagi ke masyarakat. Sehingga bisa dìfungsikan lagi sebagai tempat mengaji dan belajar anak-anak desa setempat.
Sementara, Ahmad Dawam selaku ahli waris dari tanah wakaf tersebut membenarkan adanya persoalan tanah dan bangunan mau dìambil alih.
Untuk itu, dìrinya mencoba melakukan mediasi. Hanya saja beberapa kali dìpanggil, pihak yasanan tidak datang untuk mediasi bersama warga.
“Kita sudah coba untuk bicara baik-baik. Namun pihak yayadan tidak mau datang,” katanya.
Karena tidak mau dìajak diskusi, lanjut Ahmad Dawam, malah tiba-tiba muncul somasi, dari pihak yayasan Nurul Huda terhadap warga.
Setelah adanya somasi itu, banguan tersebut langsung dìpagar atau dìblokade oleh warga setempat.
“Setelah ada somasi, tiba-tiba pihak yayasan juga menggugat ke Pengadilan Negeri Baturaja terkait permasalahan ini,” cerita Ahmad Dawam.
Ahmad mengatakan, dalam gugutan oleh pihak yayasan itu, selain ingin menguasai tanah dan bangunan, juga meminta ganti rugi hingga Rp 1 milliar.
“Pihak yayasan merasa kalau tanah dan bangunan itu adalah wakaf dari ayah saya (Soheh alm) kepada pimpinan yayasan (Sholeh Hasan alm),” katanya.
Padahal, lanjutnya, pihak yasanan juga tidak bisa menunjukan dokumen atau bukti hibah atau wakaf yang atau surat perjanjian antara kedua belah pihak.
Selain itu, mereka (yayasan) mengaku penyerahan itu secara lisan. “Saya pernah tanya ke ibu saya sebelum ibu meninggal tahun 2021. Bahwa tidak pernah ayah saya menyerahkan tanah dan bangunan ke pihak yayasan,” ceritanya.
Dìsisi lain warga berharap pihak penegak hukum bisa menengahi kasus ini secara bijak dan seadil-adilnya. Sebab hal ini sudah sangat mendzolimi masyarakat dengan mengambil yang bukan haknya.