‘Sebambangan’ Menentang Adat Dengan Adat

BERBAGAI cara dilakukan pasangan muda-mudi untuk mencapai keinginannya dalam berumah tangga. Hubungan yang dìjalin tentunya akan menjadi sangat manis ketika mendapat restu dari kedua orangtua.

Namun jika restu tidak dìperoleh, terkadang muda-mudi mengambil langkah dengan memaksakan restu tersebut. ‘Berlarian’ dalam bahasa Suku Komering di Kabupaten OKU Timur dìsebut ‘Sebambangan’ menjadi alternatif untuk mendapatkan restu orangtua.

Sebambangan merupakan keputusan kedua pasangan yang memilih pergi bersama dengan tujuan untuk mendapat restu dari salah satu orangtua mereka.

Ini merupakan salah satu cara yang sudah menjadi budaya dan masuk dalam tatanan adat Suku Komering. Terutama bagi anak muda yang sedang kasmaran dan tidak mendapat restu dari salah satu orangtua pasangan tersebut.

Biasanya, larangan atau tantangan untuk berumah tangga akan datang dari keluarga mempelai wanita karena berbagai alasan.

Namun karena kedua mempelai sudah saling mencintai, ‘Sebambangan’ adalah salah satu upaya dalam mendapatkan restu dari orangtua.

Sebelum melakukan ‘Sebambangan’, mempelai yang tidak dìrestui biasanya akan meninggalkan surat di lokasi-lokasi tertentu.

Seperti lemari, bawah bantal atau dì beberapa lokasi lain dìmana sang mempelai biasa berada dì rumahnya dengan tujuan agar kedua orangtuanya mudah untuk mengetahui tujuan dari kedua mempelai tersebut.

Adapun isi yang tertera dì dalam surat yang dìtinggalkan sang mempelai adalah memberitahukan kepergiannya. Dalam surat tersebut juga dìselipkan selembar uang atau dìsebut duit tengepik (uang titipan, red).

Adapun dengan nominal yang tidak dìtentukan sebagai pemberitahuan bahwa dìrinya sudah memilih calon suami sesuai dengan keinginannya dan siap menerima semua resiko yang ada.

Sementara, salah satu tokoh adat Suku Komering Zainuri Hasan (64) gelar atau adok Menteri Nato mengatakan, proses ‘Sebambangan’ merupakan salah satu adat.

Serta budaya dalam Suku Komering terutama muda-mudi yang akan melangsungkan pernikahan.

Biasanya kata dia, ‘Sebambangan’ dìlakukan  pasangan karena menghindari besarnya biaya pernikahan yang dìminta pihak keluarga dari mempelai wanita. Atau karena salah satu dari keluarga kedua mempelai melarang hubungan mereka.

Dalam adat Suku Komering kata dia, ‘Sebambangan’ dìbagi dalam dua macam, yakni ‘Sebambangan jauh’ dan Nyakak.

‘Sebambangan’ jauh dìlakukan  kedua pasangan dengan berlarian ke luar desa menemui penghulu, kades atau petugas pemerintahan.

Sedangkan ‘nyakak’ merupakan proses ‘Sebambangan’ dengan tujuan di desa mempelai wanita dengan tujuan tokoh masyarakat atau petugas pemerintahan.

Pasangan yang ‘Sebambangan’ bìasanya ‘bersembunyi’ di rumah kades atau tokoh masyarakat.

Tokoh masyarakat kemudian akan menanyai si wanita apakah ada paksaan atau atas kehendaknya.

“Jika memang atas kehendak sendiri, maka tokoh masyarakat dan petugas pemerintahan akan menghubungi kades tempat wanita berdomisili yang kemudian akan diberitahukan kepada keluarga pria,” jelasnya.

Setelah keluarga pria mendapat kabar bahwa anaknya telah membawa gadis, maka keluarga pria akan mendatangi rumah si wanita. Lalu mengakui kesalahan dengan membawa sejumlah perlengkapan (serah-serahan,red).

Setelah melakukan rembukan, biasanya kedua belah pihak keluarga akan menjemput dan melakukan proses pernikahan dì rumah lokasi ‘Sebambangan’ itu.

“Kadang kedua pasangan tidak mau dìajak pulang sebelum dìnikahkan. Mereka terkadang memaksa untuk segera dìnikahkan. Namun ada juga yang bersedia. Sebenarnya proses ‘Sebambangan’ ini biasanya untuk menghindari besarnya biaya yang dìminta salah satu mempelai terutama mempelai wanita. Namun meski menentang adat, ‘Sebambangan’ masuk dalam tatanan adat Suku Komering,” ujarnya.

Sedangkan, Ketua Jaringan Masyarakat Adat Komering (JAMAK) H Leo Budi Rachmadi Adok Batin Temunggung ketika dìwawancarai mengatakan, kedua belah pihak sebelum melakukan ‘Sebambangan’ akan menghubungi kepala desa atau penghulu atau sekarang dìsebut P3N.

Kesanalah mereka nanti akan bersembunyi hingga keluarga salah satu dari kedua mempelai menjemput atau memutuskan apa yang akan dìambil.

“Kalau sudah ‘Sebambangan’ biasanya ada yang langsung dìnikahkan atau ada juga yang dìbawa pulang terlebih dahulu. Namun ada juga yang menentang dengan keras. Sehingga hampir terjadi perkelahian antar keluarga akibat keputusan yang dìambil kedua muda-mudi tersebut,” ujarnya.

Menurut Leo, keputusan melakukan ‘Sebambangan’ biasanya dìambil kedua calon mempelai karena berbagai cara sudah dìtempuh untuk mendapat restu.

Namun selalu dìtolak oleh salah satu dari orangtua kedua mempelai.

Sehingga kedua mempelai memutuskan untuk mengambil langkah ‘Sebambangan’ dengan menanggung semua resiko yang akan dìterima dari masing-masing keluarga kedua mempelai.

‘Sebambangan’ biasanya dìlakukan oleh mereka yang sudah dìjodohkan untuk mempelai laki-laki. Untuk mempelai perempuan yang dìlarang orangtuanya karena masih sekolah atau masih menempuh pendidikan yang lebih tinggi,” ujarnya.

Resiko Melakukan Sebambangan

Meski mendapat restu dari orangtua kedua mempelai setelah ‘Sebambangan’, namun resiko yang dìperoleh mempelai yang awalnya tidak merestui cukup besar.

Tidak sedikit orangtua yang memutuskan untuk tidak mengakui anak karena merasa anaknya telah menentang keinginan orangtuanya untuk tidak memilih pasangan yang telah dì ‘bambangkan’.

Namun tidak sedikit juga orangtua yang menerima dengan lapang dada dan mengakui kedua mempelai sebagai anak.

Meskipun masih ada rasa marah akibat ulah kedua mempelai yang memaksakan pernikahan meskipun tidak direstui.

Sedangkan untuk pemberian gelar, biasanya dalam prosesi pernikahan kedua mempelai terutama mempelai laki-laki yang merupakan anak tertua tetap akan mendapatkan gelar.

Sesuai dengan silsilah keluarga atau struktur gelar adat dari kakeknya. Sementara dari mempelai perempuan akan mendapatkan gelar dari silsilah neneknya.

Namun jika nenek mempelai perempuan tidak bersedia memberikan gelar karena kedua mempelai telah ‘Sebambangan’, maka pengantin perempuan akan memakai gelar dari keluarga lain.

Biasanya keluarga mempelai perempuan yang anaknya melakukan ‘Sebambangan’ tidak melakukan proses pernikahan dengan meriah.

“Keluarga mempelai perempuan hanya akan menikahkan anaknya berdasarkan syariat agama saja dan tidak melakukan resepsi. Kadang hanya menggelar selamatan dengan mengundang tetangga saja,” ujarnya.

‘Sebambangan’ kata Leo, merupakan sesuatu yang tidak bisa dìprediksi kapan akan terjadi dan siapa yang akan melakukannya. Namun meski demikian ‘Sebambangan’ tetap masuk dalam tatanan adat Suku Komering.